
“ Hoyong Merdeka”
Bentuk perlawanan yang dilakukan KH.Zaenal Mustafa bersama para santrinya dilakukan secara sederhana. Hanya dengan dilandasi keyakinan ingin menghapus kebatilan dan “Hoyong Merdeka” (Ingin Merdeka-Red), mereka melancarkan perkawanan fisik. Namun serangan mereka terhadap tentara Jepang tidaklah berjalan mulus, pihak Jepangpun akhirnya mengetahui aksi serangan tersebut dan membalasnya secara membabi-buta, menganiaya serta membantai siapa saja hingga banyak jatuh korban jiwa terutama dari warga sipil. Serangan besar-besaran yang dilakukan Jepang saat itu terjadi pada 18 Februari 1944. Dalam peristiwa berdarah ini, puluhan santri hingga ratusan warga sipil gugur dan KH. Zaenal Mustafa sebagai pemimpin perlawananpun tertangkap. Tidak hanya KH. Zaenal Mustafa yang ditangkap, sekitar 21 tokoh agama Islam setempat lainnya ikut digelandang pula ke markas tentara Jepang di Kota Bandung. Mereka dijebloskan kedalam tahanan dan diintrogasi disertai penyiksaan tanpa prikemanusiaan. Mendengar KH.Zaenal Mustafa tertangkap, pemimpin pesantren lainnya seperti Haji Madriyas, Kiyai Mukasan, Haji Kartiwa, Haji Kusen dan Kiayi Srenseng dari Indramayu bangkit dan mengadakan perlawanan juga kepada pihak Jepang. Termasuk KH. Ahmad Sanusi dari Pesantren Gunung Puyuh Sukabumi dan KH. Abdul Halim dari Majalengka. Tapi nasib KH. Zaenal Mustafa tetap tak terselamatkan. Bahkan sekitar 25 Oktober 1944 ( berdasarkan dokumen dari Kepala Kantor Erevel Belanda, Ancol Jakarta) beliau dan ulama yang tertangkap lainnya akhirnya dijatuhi hukuman mati oleh pihak Jepang di Jakarta.
Pesantren Sukamanah Tasikmalaya
Sebagai seorang pemimpin Pondok Pesantren yang terletak di Desa Sukamanah Kecamatan Singaparna Kabupaten Tasikmalaya, KH. Zaenal Mustafa telah banyak membina dan mencetak banyak santri handal di bidang agama Islam. Para santri yang beliau bina tidak hanya berasal dari Kab. Tasikmalaya dan daerah sekitarnya saja, melainkan dari kota-kota lainnya di Tanah Air. Santri-santri ini ditampung dalam asrama. Kala itu ada sekitar 6 asrama untuk menampung 600-700 santri. Sedangkan para santri yang tidak menginap (Santri Kalong) jumlahnya lebih banyak. Namun setelah kepergian KH.Zaenal Mustafa, aktivitas belajar mengajar di dalam Pesantren sedikit demi sedikit menjadi berkurang, bahkan sempat mengalami vakum selama 6 tahun. Memasuki 1950, atas dasar ingin membangkitkan kejayaan pesantren Sukamanah, KH. Fuad Muhsin bersama K.U. Abdul Aziz dan rekan-rekan lainnya, menghidupkan kembali aktivitas belajar mengajar Pesantren Sukamanah. Menginjak 2006, setelah wafatnya KH.Fuad Muhsin, kepemimpinan Pesantren Sukamanah dijalankan oleh KH.A.Tharir Fuad (putra KH. Fuad Muhsin) dan atas jasa-jasa KH. Zaenal Mustafa terhadap Negara, Pemerintah RI memberikan penghargaan berupa gelar Pahlawan Nasional pada 20 November 1972. Selain itu, dalam rangka meneruskan perjuangan KH. Zaenal Mustafa (alm) dalam bidang pendidikan, salah seorang santrinya Syarif Hidayat berinisiatif mendirikan Yayasan KH. Zaenal Mustafa pada 17 Agustus 1959 dan hingga kini, yayasan tersebut memiliki dua Pondok Pesantren (Pesantren Sukahideung dan Sukamanah), Madrasah Ibtidaiah, dua Madrasah Diniah, TKA/TPA, SMP, SMP, Lembaga Pelayanan Masyarakat meliputi Koperasi Pondok Pesantren (Kopontren) dan Pos Kesehatan Pesantren (Poskestren). Makam Pahlawan Nasional KH. Zaenal Mustafa berada di Desa Sukamanah, Sukarapih, Kecamatan Sukarame, Kabupaten Tasikmalaya. (TP/dari berbagai sumber).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar